Selasa, 03 Maret 2015

BUDAYA

G:\DCIM\100MEDIA\IMG_2655.JPG 
SUKU JAWA 
Jawa/Java adalah suku bangsa terbesar yang ada di Indonesia. Selain hidup di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogyakarta, mereka juga tersebar di berbagai penjuru tanah air, seperti Jawa Barat, Jakarta, Banten, Lampung, dan Sumatera Barat, dan jumlahnya mencapai 41,7 persen dari populasi bangsa Indoensia. Persebaran mereka ke berbagai tempat tersebut, selain dilatarbelakangi oleh adat-budaya (seperti mengembara), juga oleh faktor-faktor ekonomi-politik, seperti ekspansi kerajaan Mataram dan kebijakan transmigrasi Pemerintah Kolonial Belanda.
Tidak hanya tersebar di tanah air, komunitas besar suku Jawa juga hari ini banyak berdiam di Suriname, Kaledonia Baru, Malaysia, Singapura, dan Belanda. Di beberapa negara tersebut, dalam sejarahnya, orang Jawa dimobilisasi Pemerintah Kolonial Belanda sebagai tenaga kerja.
Walaupun mewarisi budaya hidup yang terkenal ulet, namun di sisi lain, orang Jawa memiliki falsafah hidup “nrimo ing pandum” atau sikap pasrah menerima jalan hidup yang ditakdirkan oleh Tuhan. Hal tersebut senada dengan ungkapan yang terkenal di antara orang Jawa “urip ora ngoyo”, yang berarti bahwa dalam menjalani hidup tidak usah terlalu ambisius. Sikap hidup tersebut yang nampaknya membuat orang Jawa terkenal dengan kehidupannya yang sederhana.   
Mayoritas orang Jawa berkomunikasi dalam Bahasa Jawa. Bahkan banyak dari mereka yang hidup di perantauan pun masih sering berbahasa Jawa, terutama antar sesamanya. Orang Jawa memang terkenal akan solidaritas sosialnya yang tinggi dan loyaliasnya terhadap adat dan tradisi, termasuk dalam berbahasa. Dalam Bahasa Jawa terkandung prinsip undhak-undhuk atau tataaturan mengenai penggunaan bahasa, dalam kaitannya dengan peran sosial para penuturnya, misalnya ayah kepada anak atau sebaliknya, remaja kepada teman sebayanya, dan lain sebagainya.
Sebagian besar orang Jawa memeluk Islam, yang biasanya dikategorikan Islam santri dan Islam abangan atau Islam yang bercampur dengan berbagai ritus-ritus tradisi. Dominasi pemeluk Islam di kalangan orang Jawa tidak terlepas dari peran para penyebar Islam terkemuka, yakni Walisongo, yang hampir semuanya menyebarkan syi’ar di Tanah Jawa.  Selain Islam, orang Jawa juga ada yang menganut Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan ada pula yang berpegang teguh pada Kejawen, yakni kepercayaan animisme khas orang Jawa, yang terutama dipengaruhi olehtradisi Hindu-Budha.
SEJARAH
DOKTER
JAWA

A.de Waart dalam artikel yang berjudul: Vijf en zeventig jaren Medisch Onderwijs te Weltevreden 1851-1926, terlebih dahulu menjelaskan bahwa pada tahun 1847 Dr. W. Bosch yang menjabat Kepala Dinas Kesehatan telah mendapat laporan bahwa di wilayah keresidenan Banyumas terjangkit berbagai macam penyakit yang berbahaya. Dengan adanya laporan tersebut, timbullah gagasan kepada setiap Kepala Desa (Lurah) untuk diberikan sebuah buku tuntunan kesehatan berbahasa Jawa atau Melayu.
Tujuannya ialah agar setiap desa bisa menjaga kesehatan penduduknya. Akan tetapi, gagasan tersebut tidak mendapat respon. Kemudian timbul gagasan baru, sebaiknya dibentuk Korps Kesehatan atau Juru kesehatan/ Juru Suntik dari kalangan penduduk.
Dari gagasan-gagasan tersebut, akhirnya pemerintah dalam sidangnya tanggal 9 Nopember 1847 memutuskan akan mengambil beberapa orang pemuda yang sehat dan cakap dari seluruh penjuru Pulau Jawa yang pandai menulis dan membaca huruf Jawa dan Melayu, serta berbakat untuk dididik menjadi Juru Kesehatan praktis. Yang terpilih sekurang-kurangnya sudah berumur 16 tahun. Mereka akan dididik di Rumah Sakit Militer Weltevreden.
Dari keputusan sidang pemerintah tersebut, dua tahun kemudian tertuanglah Keputusan Pemerintah tanggal 2 Januari 1849 No.22.
Setelah diadakan persiapan-persiapan seperlunya, pada bulan Januari 1851 pendidikan tersebut dibuka dengan resmi. Sebagai pimpinan kursus ditunjuk Dr.P.Bleeker, Opsir Kesehatan Kelas I Rumah Sakit Militer Weltevreden, untuk memimpin kursus dari tahun 1851-1860.
Kemudian, berdasarkan Keputusan Pemerintah tanggal 5 Juni 1853 No.10, sejak tahun 1856 pendidikan ditingkatkan menjadi 3 tahun. Dengan dimulainya sistem pendidikan 3 tahun, maka menurut keputusan Pemerintah tanggal 11 Mei 1856 No.3, kepada para lulusan sekolah tersebut diberikan gelar Dokter Jawa. Dengan demikian, Kursus Juru Kesehatan itupun berubah menjadi Sekolah Dokter Jawa.
Pada tahun 1867 muncul sebuah brosur yang ditulis oleh Dr. Fles, yang kemudian disusul dengan pernyataan J.J.W.E Van Riemsdijk pada tahun 1868 yang secara tegas menjelaskan bahwa pendidikan 3 tahun untuk mencetak dokter-dokter Jawa, sama sekali tidak atau belum mencukupi persyaratan.
Sebab, sejauh itu sebenarnya tidak lebih dari pada mencetak juru-juru suntik masa-masa yang sudah lampau. Dengan demikian, rencana pelajaran masih harus ditingkatkan lagi. Misalnya, sesudah mereka menyelesaikan pelajarannya selama 3 tahun, harus melakukan praktek di bawah pengawasan sedikitnya 2 tahun. Sesudah itu, barulah mereka diberi wewenang untuk berdiri sendiri.
Ada juga yang menyarankan, agar terlebih dahulu diadakan pendidikan tingkat persiapan, di mana harus diajarkan bahasa Belanda yang cukup, ditambah dengan pelajaran matematika serta dasar-dasar ilmu ketabiban. Sesudah melampaui tingkat tersebut, barulah diteruskan atau ditingkatkan pada pendidikan kedokteran yang sebenarnya. Mata pelajaran yang diberikan oleh para opsir kesehatan dari Rumah Sakit Militer, seyogyanya hanya dianggap sebagai mata pelajaran tambahan.
Tegasnya, pimpinan Sekolah Dokter Jawa harus mencurahkan semua waktunya untuk pendidikan di Sekolah Dokter dan tidak sekedar sebagai pekerjaan sambilan.
Usul atau saran Dr.C.Eijkman yang dikemukakan tahun 1889, telah disambut dengan saran lain, supaya yang diterima menjadi pelajar Sekolah Dokter Jawa hendaknya murid-murid lulusan E.L.S (Europeesche Lagere School). Dan jika masih terpaksa menerima lulusan Sekolah Dasar, seyogyanya pendidikan diselenggarakan selama 6-8 tahun.
Saran-saran serta usul-usul yang disampaikan demi peningkatan mutu Sekolah Dokter Jawa, mencapai klimak pada tahun 1898. Saran tersebut diajukan oleh Dr. H. F. Rool, direktur Sekolah Dokter Jawa periode 1896-1899 dan kemudian menjadi pimpinan STOVIA dari tahun 1901-1908. Dr. H. F. Rool yang dapat dianggap sebagai Bapak STOVIA, dengan tandas menyatakan: Sekolah Dokter Jawa harus ditingkatkan menjadi School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (S.T.O.V.I.A).

Sumber: Hadisutjipto, Drs. S.Z. 1973. Gedung Stovia Sebagai cagar Sejarah. Jakarta: Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta.

G:\DCIM\100MEDIA\IMG_2647.JPG G:\DCIM\100MEDIA\IMG_2648.JPG G:\DCIM\100MEDIA\IMG_2655.JPG
H:\DCIM\100MEDIA\IMG_2669.JPG H:\DCIM\100MEDIA\IMG_2666.JPG G:\DCIM\100MEDIA\IMG_2663.JPG

Tidak ada komentar:

Posting Komentar